Minggu, 25 Oktober 2009

INVENTARISASI KETERSEDIAAN BIBIT PENGHIJAUAN LINGKUNGAN TAHUN 2009

Latar Belakang

Berbagai aktivitas manusia terutama dalam penggunaan bahan bakar fosil (BBF) yang tidak terkendali serta permasalahan penggunaan lahan, untuk memenuhi kebutuhan dan gaya hidup, secara perlahan disadari maupun tidak telah meningkatkan pemanasan global yang berimplikasi pada menurunnya produktivitas alam.

Indonesia memiliki luas hutan tropis terbesar ketiga di dunia dengan kekayaan alam yang luar biasa besar dan dianggap sebagai paru-paru dunia namun memiliki persoalan besar, yaitu degradasi hutan dan lahan, deforestasi yang disebabkan oleh illegal logging penjarahan hutan, alih fungsi lahan, dan kebakaran hutan. Dampak laju desforestasi sebesar 1,08 juta hektar pertahun, Indonesia dinilai sebagai salah satu Negara yang turut andil dalam terjadinya peningkatan gas rumah kaca secara global.

Dalam rangka kegiatan Hari Menanam Pohon Indonesia dan Bulan Menanam Nasional dalam rangka mengantisipasi perubahan iklim global dan degradasi lahan yang telah dicanangkan oleh Presiden Republik Indonesia di Cibinong Bogor pada Tanggal 28 November 2008, serta Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.20/Menhut-II/2009 Tanggal 19 Maret 2009 tentang Panduan Penanaman Satu Orang Satu Pohon (One Man One Tree). Maka untuk Provinsi Sumatera Selatan, perlu dilakukan terlebih dahulu Inventarisasi Ketersediaan bibit dalam rangka tersebut (Penghijauan Lingkungan Tahun 2009). Untuk mendukung aksi penanaman serentak.

Maksud dan Tujuan

Maksud dilakukan Inventarisasi Ketersediaan bibit dalam rangka Penanaman Serentak (Penghijauan Lingkungan) adalah untuk mengetahui akan kebutuhan dan jenis bibit yang diperlukan oleh kabupaten/kota.

Sedangkan tujuannya adalah agar pelaksanaan penanaman serentak (Penghijauan Lingkungan) dapat berjalan secara baik dan terarah dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat.

Sasaran

Adapun sasaran Inventarisasi Ketersediaan bibit dalam rangka Penghijauan Lingkungan Tahun 2009 adalah : para penakar bibit, pengusaha maupun yang dilaksanakan oleh Anggota Kelompok Tani baik jenis kayu-kayuan maupun jenis tanaman MPTS.

Kesimpulan

Jenis bibit yang dibutuhkan di Kabupaten Banyuasin dalam rangka Penghijauan Lingkungan adalah terdiri dari

v Pulai sebanyak 15.000 batang

v Tembesu sebanyak 3.000 batang

v Bungur sebanyak 5.000 batang

v Mahoni sebanyak 15.000 batang

v Bambang Lanang sebanyak 3.000 batang

v Sukun sebanyak 6.000 batang

v Petai sebanyak 15.000 batang

v Sawo sebanyak 2.000 batang

v Gaharu sebanyak 15.000 batang

Jenis bibit yang dibutuhkan di Kabupaten Muara Enim dalam rangka Penghijauan Lingkungan adalah terdiri dari :

v Mahoni sebanyak 5.500 batang

v Tembesu sebanyak 4.400 batang

v Tanjung sebanyak 5.000 batang

v Durian sebanyak 2.200 batang

v Petai sebanyak 2.200 batang

v Bambang Lanang sebanyak 6.000 batang

Jenis bibit yang dibutuhkan di Kabupaten Lahat dalam rangka Penghijauan Lingkungan adalah terdiri dari :

v Mahoni sebanyak 50.000 batang

v Gaharu sebanyak 10.000 batang

v Bambang Lanang sebanyak 30.000 batang

v Petai sebanyak 10.000 batang

v Durian sebanyak 50.000 batang

v Glodokan sebanyak 10.000 batang

v Sukun sebanyak 20.000 batang

v Rambutan sebanyak 20.000 batang

v Mangga sebanyak 20.000 batang

Jenis bibit yang dibutuhkan di Kota Palembang dalam rangka Penghijauan Lingkungan adalah terdiri dari :

v Mahoni sebanyak 5.000 batang

v Tembesu sebanyak 5.000 batang

v Pulai sebanyak 5.000 batang

v Sengon sebanyak 15.000 batang

v Gaharu sebanyak 15.000 batang

v Jengkol sebanyak 10.000 batang

v Petai sebanyak 10.000 batang

v Bambang Lanang sebanyak 20.000 batang

v Jati sebanyak 1.000 batang

v Lain-lain sebanyak 25.000 batang

Jenis bibit yang dibutuhkan oleh Kabupaten Empat Lawang dalam rangka Penghijauan Lingkungan adalah terdiri dari :

v Sengon sebanyak 40.000 batang

v Bambang Lanang sebanyak 70.000 batang

v Petai sebanyak 5.000 batang

v Jati sebanyak 10.000 batang

Jenis bibit yang dibutuhkan oleh Kabupaten Banyuasin dalam rangka Penghijauan Lingkungan adalah terdiri dari :

v Mahoni sebanyak 1.000 batang

v Tembesu sebanyak 1.000 batang

v Sengon sebanyak 1.000 batang

v Gaharu sebanyak 1.000 batang

v Petai sebanyak 1.000 batang

v Bambang Lanang sebanyak 1.000 batang

Kamis, 15 Oktober 2009

PERANAN KELEMBAGAAN DALAM PENYULUHAN KEHUTANAN

Kelembagaan umumnya dalam bertugas selalu berhadapan dengan masyarakat, karena tugasnya adalah mendidik masyarakat secara non formal dengan mengajarkan keterampilan dan memberikan pengertian tentang seluruh aspek pembangunan kehutanan. Selama ini para petugas kehutanan dimanapun berada kurang mendapat tempat dihati masyarakat, karena selalu membawa misi bernada larangan.


Namun dalam pembangunan kehutanan gaya baru sekarang ini terlebih lagi setelah para Petugas Lapangan Gerhan (PLG) dilahirkan maka seorang penyuluh kehutanan yang tinggal dan hidup bersama masyarakat di pedesaan dituntut untuk selalu menyesuaikan diri dengan kondisi sosial budaya masyarakat.

Berbagai metode pendekatan yang komunikatif sangat perlu untuk dimiliki seorang penyuluh kehutanan dalam rangka membimbing masyarakat di pedesaan. Hal ini perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh mengingat bahwa walaupun misi pembangunan yang dibawanya sangat berfaedah bagi masyarakat, bilamana penyuluh tidak menguasi tehnik berkomunikasi dengan baik maka misi ini akan sulit diterima oleh masyarakat. Tidak demikian apabila seorang petugas menguasai metode pendekatan yang komunikatif, dirinya akan dapat dengan mudah diterima ditengah masyarakat.

Upaya-upaya yang dilakukan dalam menggerakkan masyarakat misalnya melalui pendekatan yang persuasif, pertemuan diskusi, sosialisasi, bimbingan teknis, rapat pembahasan permasalahan dan sebagainya, merupakan beberapa bagian saja dari sekian banyak kemampuan yang harus dimiliki seorang penyuluh, karena masih banyak hal yang lain yang perlu dipelajari. Oleh karena itu, petugas hendaknya tidak henti-hentinya belajar dan berlatih untuk menjadi penyuluh yang tangguh dan menjadi teladan bagi masyarakat yang dibinanya.


Pada hakekatnya, manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa memiliki kecenderungan untuk saling berinteraksi dengan sesamanya dalam hubungan saling ketergantungan dan keterkaitan. Karena itu dalam sistem kehidupan masyarakat, terdapat suatu struktur sosial yang cukup rumit. Struktur sosial dapat diibaratkan suatu konstruksi bangunan daripada masyarakat sehingga memungkinkan sistem kehidupan masyarakat mampu tumbuh dan berkembang menjalankan fungsi dan kebutuhannya.

Bagi seorang petugas, individu masyarakat yang mana yang memiliki peranan sebagai tokoh pemimpin informal dilingkungannya. Hal ini penting mengingat tokoh-tokoh pimpinan seperti ini akan mampu berfungsi sebagai agen pembaharu. Peranan penting dalam tubuh masyarakat tani di pedesaan secara umum dibagi dalam 5 golongan yaitu :

1. Inovator dan Pelopor

Petani inovator adalah petani yang pertama kali menerima teknologi guna melaksanakannya secara swadaya di desanya.

Golongan ini biasanya mempunyai ciri-ciri antara lain :

§ Merupakan petani yang mampu

§ Mempunyai pikiran yang sangat terbuka

§ Sudah biasa bergaul dengan orang-orang diluar daerahnya terutama dari kota.

§ Mempunyai pola berpikir seperti orang-orang yang hidup di kota.

§ Sadar mengenai kelebihan yang ia miliki

§ Memiliki sifat kreatifitas yang tinggi

§ Selalu tanggap terhadap informasi-informasi baru.

2. Early Adaptor atau Penerap Diri

Merupakan golongan petani yang kemudian dengan cepat mengikuti jejak inovator. Biasanya berasal dari kelompok-kelompok yang cukup mampu, tapi cara berpikir dan bergaulnya masih seperti petani lain, artinya masih mau memperhatikan dan bergaul dengan individu diluar kelompoknya.

Petani-petani seperti ini dalam proses alih teknologi akan berfungsi sebagai sumber informasi bagi petani lain. Mereka juga merupakan figur atau teladan bagi petani-petani yang merasa masih belum maju. Oleh karena itu mereka dipercaya oleh kelompoknya untuk memegang peranan sebagai koordinator dari setiap kegiatan.

3. Early Majority atau Penerap Cepat

Merupakan golongan petani yang mudah menerima anjuran atau terpengaruh pada informasi-informasi baru yang telah terbukti ada manfaatnya.

4. Late Majority atau Penerap Lambat

Merupakan golongan petani yang baru mau meniru penggunaan teknologi baru, setelah banyak orang melaksanakannya.

5. Laggard atau penolak

Golongan ini biasanya tidak mau menerima informasi baru, bersifat kaku dan akan mudah sekali terpengaruh arus balik yang disebut “retreatsme” bilamana ada kegagalan.

Seorang penyuluh kehutanan hendaknya dapat mengetahui adanya kelima golongan tadi didalam struktur masyarakatnya agar dapat menentukan pemilihan petani mana yang dapat dijadikan sebagai pemimpin kelompok tani. Perlu diketahui bahwa golongan petani pelopor, penerap dini dan penerap cepat dapat dicalonkan sebagai ketua kelompok tani.

Petugas kehutanan yang telah mendapat simpati, dukungan ataupun pengakuan masyarakat secara terus menerus dan persuasif harus selalu membimbing anggota masyarakat untuk diarahkan guna mendukung program pembangunan kehutanan.

Masyarakat perlu diyakinkan akan manfaat dan kegunaan pembangunan kehutanan bagi hidupnya saat ini dan dimasa yang akan datang, misalnya hutan sebagai unsur perlindungan tata air, manfaat hutan sebagai unsur perlindungan alam lingkungan dan ekosistem, manfaat hutan tanah dan air sebagai unsur produksi.

Selain itu, masyarakat juga harus diyakinkan akan kerugian yang akan terjadi bila hutan tiada, seperti iklim yang panas, sulit air, sulit bahan bakar, bahan pangan dans sebagainya. Namun demikian petugas hendaknya dapat mengambil inisiatif dalam memberikan jalan keluar permasalahan yang dihadapi masyarakat. Yang jelas, petugas harus membimbing masyarakat untuk melaksanakan kegiatan yang bermanfaat secara ekonomis bagi masyarakat dan bermanfaat secara ekologis bagi lingkungan.

Keberhasilan penyuluh membimbing masyarakat ditahap awal akan menjadi modal utama penyuluh dalam pembangunan kehutanan secara berkesinambungan.


Vivin Silvaliandra. S

PLG BPDAS Musi

Rabu, 07 Oktober 2009

Analisis Kelembagaan

Untuk mengetahui pengaruh aspek kelembagaan masyarakat terhadap sumberdaya alam yang akan diadakan pengamatan terhadap mekanisme kerja kelembagaan yang meliputi : Aspek SDM, Organisasi, Kewenangan, Tata Hubungan Kerja dan Aksesibilitas Wilayah.

1. SDM (Sumber Daya Manusia)
Dalam penyusunannya, kelembagaan lebih terpusat pada kelembagan informal seperti lembaga lokal/adat. Untuk mengetahui pengaruh peran serta lembaga tersebut dalam pengelolaan DAS, maka perlu diketahui dari SDM tersebut mengenai tingkat pendidikan, pengalaman dan wawasannya terhadap kelestarian lingkungan dan hasil wawancara terhadap SDM dalam kelembagaan informal dan formal (kades BPD, LSM) dsb.

2. Organisasi
Organisasi yang terkait dengan pengelolaan DAS masih sangat bervariatif sekali, baik organisasi formal maupun informal belum efektif melibatkan para pihak yang terkait dalam pengelolaan DAS. Dalam kegiatannya, aspek organisasi yang ada dilokasi yang sudah ditentukan baik formal maupun informal diperlukan untuk indikator yaitu KISS (Koordinasi, Integrasi, Sinkronisasi dan Simplikasi) dengan parameter konflik yang dikaitkan dengan pengelolaan DAS antara lain : tata air, penggunaan lahan dan sosial ekonomi.

3. Kewenangan
Aspek kewenangan dikaitkan dengan indikator ketergantungan masyarakat terhadap lembaga-lembaga pemerintah setempat khususnya dalam pengelolaan DAS serta dihubungkan dengan intervensi pemerintah terhadap kewenangan kelembagaan tersebut sehingga akan diketahui tinggi, rendah dan sedang peran dalam kewenangaannya dalam pengelolaan DAS setempat.

4. Tata Hubungan Kerja
Dalam penyusunannya tata hubungan kerja yang dipakai sebagai parameter penunjang dalam kegiatan pengelolaan DAS adalah jumlah unit tersebut, dibandingkan dengan data tahun sebelumnya sehingga dapat terlihat jumlahnya tetap, berkurang atau bertambah.

5. Aksesibilitas Wilayah
Dalam kegiatan penyusunan data base kelembagaan, aksesibilitas wilayah menunjukkan tingkat kemudahan aktifitas ekonomi penduduk yang berkaitan dengan kemudahan hubungan wilayah dengan pusat-pusat kegiatan ekonomi. Oleh karena itu, aksesbilitas wilayah merupakan potensi yang perlu diperhitingkan dalam penguatan kelembagaan
Unsur-unsur aksesibilitas wilayah adalah jarak dan kondisi jalan waktu tempuh dari wilayah tersebut ke pusat-pusat kegiatan ekonomi.

Daftar Nama Staf Kelembagaan BPDAS Musi

1. Ir Hadiyati Utami, M.Si. (Kepala Seksi Kelembagaan)
2. Dra. Nurhidayati (Staf Kelembagaan)
3. Baihaki Hefny, SP (Staf Kelembagaan)
4. Yurnardi S.Sos (Staf Kelembagaan)
5. Hamdi Bahri, S (Staf Kelembagaan)
6. Mawan H.M (Staf Kelembagaan)
7. Darius Iskandar (Staf Kelembagaan)
8. Yoga N.Dian (Staf Kelembagaan)
9. Arbani (Staf Kelembagaan)
10. Sutejo (Staf Kelembagaan)
11. Ismawati (Staf Kelembagaan)
12. Darmawi (Staf Kelembagaan)
13. Vivin Silvaliandra, S.Kel (PLG)

Selasa, 06 Oktober 2009

Kelembagaan BPDAS Musi

Kelembagaan atau pranata sosial merupakan sistem perilaku dan hubungan kegiatan-kegiatan untuk memenuhi kebutuhan dalam kehidupan masyarakat, yang meliputi tiga komponen:
  • Organisasi atau wadah dari satu kelembagaan
  • Fungsi dari kelembagaan dalam masyarakat
  • Perangkat peraturan yang ditetapkan oleh sistem
Kelembagaan Pengelolaan DAS adalah modal dasar dalam pengelolaan DAS yang dapat mendorong terwujudnya koordinasi, komunikasi dan konsultasi sehingga dapat merajut kepentingan-kepentingan para pihak (stakeholders) yang terkait dengan pengelolaan DAS.

Seperti yang kita ketahui, pembangunan kehutanan dimasa yang akan datang perlu dikelola dengan tujuan pemulihan sistem penyangga kehidupan guna perbaikan dan mendukung kegiatan ekonomi lokal, regional dan nasional jangka panjang. Pemerintah (dalam hal ini Departemen Kehutanan) telah menetapkan rehabilitasi dan konservasi sebagai arah kebijakan pembangunan kehutanan dalam kurun waktu sepuluh sampai du puluh tahun kedepan dengan lima kebijakan prioritas yang mendesak untuk dilaksanakan yaitu: pemberantasan illegal loging, penanggulangan kebakaran hutan, restrukturisasi sektor kehutanan Rehabilitasi dan Konservasi Kehutanan dan Penguatan Desentralisasi Kehutanan.

Kelima kebijakan prioritas Departemen Kehutanan tersebut harus senantiasa dijiwai oleh peningkatan mutu sumber daya manusia dan penguatan kelembagaan

Dalam perjalanan pembangunan kehutanan selama ini partisipasi kelompok maupun masyarakat dalam proses kebijakan pengelolaan sumber daya hutan masih rendah, hal ini akan membawa konsekuensi kepada akses masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang akan berpengaruh langsung terhadap kinerja DAS.

Upaya pemerintah dalam menghadapi rendahnya peran serta kelompok ataupun masyarakat dalam pembangunan kehutanan dengan memberi akses kepada kelompok atau masyarakat dalam pengelolaan hutan melalui berbagai macam pendekatan dalam bentuk kebijakan dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat didalam dan sekitar hutan serta mendorong partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan.

Sejalan dengan pasal 69 dan 70 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa masyarakat berkewajiban ikut serta menjaga hutan dari gangguan perusakan, berperan aktif dalam rehabilitasi, turut berperan serta dalam pembangunan kehutanan dan pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna.

Untuk mengetahui peran serta masyarakat atau kelompok terhadap sumberdaya hutan perlu diketahui data serta jumlah kelembagaan masyarakat yang ada pada suatu wilayah pengelolaan DAS sehingga untuk itu perlu adanya kelembagaan.